Rabu, 06 Mei 2015

Pengertian Fidyah, Hukum &Tatacara Pembayarannya Puasa

Tidak ada komentar:


Fidyah atau fidaa atau fida` adalah satu makna. Yang artinya, apabila dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah "ith'am", yang artinya memberi makan. Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.


1. Apakah fidyah dalam bentuk Beras untuk satu hari puasa 2.5 kg beras,kalo untuk diuangkan apakah seharga beras 2,5 kg tersebut?
Fidyah diberikan dalam bentuk makanan pokok setempat dengan kadar satu sha atau 2,5 kg beras untuk satu hari puasa yang ditinggalkan.

2. Apakah kita bisa mengQadha puasa yang 2 tahun lalu belum kita ganti dan tahun ini baru kita menggantikannya dengan membayar fidyah ?
Jika hutang puasa tahun belum terbayar hingga datang ramadhan berikut jumhur ulama berpendapat yang harus dilakukan adalah membayar hutang tersebut secepatnya. Hanya saja, menurut madzhab Syafi'i jika terlewat satu tahun tanpa sempat terbayar, maka pembayaran hutang puasa tadi disertai dengan fidyah.

3. Apakah kita bisa fidyah pada panti asuhan atau pada anak-anak yang berada diasrama yang tidah mampu?
Siapapun yang tergolong fakir miskin berhak untuk mendapatkan fidyah, termasuk anak yatim yang miskin.


Antara Qadha dan Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan bahwa seorang yang sedang hamil dan menyusui apabila mengkhawatirkan dirinya jika dia berpuasa atau mengkhawatirkan terhadap anaknya maka Ibnu Umar, Ibnu Abbas berpendapat bahwa keduanya boleh tidak berpuasa dan hendaklah mengeluarkan fidyah serta tidak perlu mengqodho puasanya sepertihalnya seorang yang sudah tua renta.

Diriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata didalam firman Allah swt disebutkan:

Artinya : “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
(QS. Al Baqoroh : 184)

Hal itu merupakan rukhshah (keringanan) bagi laki-laki maupun perempuan yang sudah tua yang keduanya sudah tidak sanggup lagi berpuasa untuk tidak berpuasa serta memberikan makan setiap harinya satu orang miskin, begitu juga dengan seorang yang sedang hamil maupun menyusui apabila keduanya khawatir—terhadap anaknya—maka keduanya boleh tidak berpuasa dan memberikan makan kepada orang miskin.

Diriwayatkan dari al Bazzar dan tambahan pada bagian akhirnya, Ibnu Abbas mengatakan kepada seorang ibu yang sedang hamil,”Posisi anda seperti orang yang tidak sanggup lagi berpuasa maka hendaklah anda membayarkan fidyah dan tidak perlu mengqadha (terhadap puasa yang ditinggalkan).” Sanadnya dishahihkan oleh Daruquthni.

Diriwayatkan dari Malik dan Baihaqi dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang wanita yang hamil apabila dia khawatir terhadap anak (yang dikandungnya), maka dia mengatakan,”Hendaknya dia berbuka dan memberikan makan setiap harinya satu orang miskin sebanyak satu mud dari gandum. Didalam hadits disebutkan,”Sesungguhnya Allah memberikan keringanan kepada orang yang melakukan perjalanan terhadap puasanya dan separuh shalatnya—qashar dalam shalatnya—dan kepada orang yang hamil dan menyusui terhadap puasanya.” (HR. Ahmad dan Ashabush Sunan).

Dengan begitu seorang yang sedang hamil dan meyusui apabila khawatir terhadap diri atau anaknya maka dibolehkan baginya untuk tidak berpuasa. Adapun tentang qadha (mengganti puasanya) dan fidyah, Ibnu Hazm tidak mewajibkannya sedikit pun sedangkan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar mewajibkan bagi mereka berdua untuk membayar fidyah saja tidak perlu mengqadha. Adapun para ulama Hanafi berpendapat diwajibkan baginya qadha saja tanpa fidyah. Para Ulama Syafi’i dan Hambali mewajibkan baginya qadha dan fidyah apabila dia khawatir terhadap anaknya saja akan tetapi apabila dia khawatir terhadap dirinya saja atau terhadap dirinya dan juga anaknya maka wajib baginya qadha saja tanpa fidyah. (Nailul Author juz IV hal 243 – 245)

Didalam “Fiqih al Madzahib al Arba’ah” :
                   
Para ulama Maliki mengatakan bahwa orang yang sedang hamil dan menyusui apabila dengan berpuasa dia mengkhawatiri dirinya akan sakit atau bertambah sakitnya—baik dia kahwatir terhadap dirinya atau anaknya atau dirinya saja atau anaknya saja—maka dibolehkan baginya untuk berbuka dan hendaklah dia mengqadhanya dan tidak wajib bagi seorang wanita yang hamil untuk mengeluarkan fidyah berbeda dengan seorang yang sedang menyusui maka wajib baginya fidyah. Adapun apabila keduanya khawatir dengan puasanya akan mencelakakan dirinya atau anaknya maka wajib baginya untuk berbuka.

Para ulama Hanafi mengatakan bahwa apabila seorang yang hamil atau menyusui khawatir puasanya akan membawa calaka maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka baik dirinya khawatir terhadap diri dan anaknya atau terhadap dirinya saja atau anaknya saja dan diwajibkan baginya qadha ketika dirinya memiliki kesanggupan tanpa ada kewajiban fidyah.

Para ulama Hambali mengatakan bahwa dibolehkan bagi seorang yang hamil dan menyusui untuk berbuka apabila mereka berdua khawatir puasanya dapat mencelakakan diri dan anaknya atau terhadap dirinya saja maka diwajibkan bagi keduanya dalam kedua keadaan tersebut untuk mengqadha tanpa perlu membayar fidyah. Adapun apabila keduanya khawatir terhadap anaknya saja maka wajib baginya untuk mengqadha dan membayar fidyah.

Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa seorang yang hamil dan menyusui apabila khawatir dengan puasanya akan membawa celaka dan dia dalam keadaan tidak menyanggupinya baik kekhawatiran terhadap diri dan anaknya sekaligus atau terhadap dirinya saja atau terhadap anaknya maka wajib baginya untuk berbuka dan mengqadha dalam tiga keadaan itu dan diwajibkan baginya membayar fidyah dan qadha dalam keadaan terakhir, yaitu apabila dia khawatir terhadap anaknya saja. (Fatawa Al Azhar juz IX hal 291)

Syeikh Yusuf al Qaradhawi mengatakan bahwa dibolehkan bagi seorang yang sedang hamil untuk berbuka pada bulan Ramadhan apabila dia khawatir terhadap janinnya akan meninggal…boleh baginya tidak berpuasa.. bahkan apabila kekahwatiran itu menguat atau hal itu telah ditetapkan oleh seorang dokter muslim yang bisa dipercaya dalam kedokteran dan keagamaannya maka wajib baginya untuk tidak berpuasa sehingga tidak menyebabkan kematian bayinya. Allah swt berfirman :

Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu.” (QS. Al An’am : 151) (QS. Al Isra : 31) Ia adalah jiwa yang harus dihormati sehingga tidak boleh bagi seorang laki-laki maupun perempuan untuk menyakitinya dan melakukan suatu perbuatan yang bisa mengakibatkan kematiannya.


Dan Allah swt tidaklah menyusahkan para hamba-Nya selama-lamanya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas juga bahwa seorang yang hamil dan menyusui juga termasuk dalam firman-Nya :

Artinya : “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqoroh : 184)

Adapun apabila seorang yang hamil atau menyusui mengkhawatirkan janin atau anaknya, maka para ulama telah berbeda pendapat setelah mereka membolehkan kepadanya untuk tidak berpuasa menurut ijma, apakah wajib baginya qadha atau memberi makan setiap harinya satu orang miskin atau keduanya yaitu qadha dan memberi makan sekaligus, mereka berbeda pendapat dalam hal itu.

Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi berpendapat bahwa memberikan makan (fidyah) saja tanpa qadha dibolehkan bagi seorang wanita yang sedang hamil dan menyusui ketika memang dirinya tidak memiliki kesempatan untuk melakukan qadha, yaitu yang dalam setahun dia hamil dan dalam setahun dia menyusui dan pada tahun berikutnya dia hamil lagi... begitu seterusnya... dirinya selalu hamil dan menyusui dikarenakan dia tidak memiliki kesempatan untuk melakukan qadha. Apabila kita bebankan kepadanya untuk mengqadha hari-hari yang ditinggalkannya saat hamil atau menyusui berarti diwajibkan baginya untuk berpuasa selama beberapa tahun secara terus menerus setelah itu, dan ini adalah sebuah kesulitan dan Allah tidak menginginkan kesulitan terhadap hamba-hamba-Nya.


Jumat, 01 Mei 2015

Puasa 9 10 Muharam

Tidak ada komentar:
Puasa 9 10 Muharam disebut juga puasa hari tasu’a dan hari ‘asyura. Hari ‘Asyura adalah hari ke 10 bulan Muharam, sedangkan hari Tasu’a adalah hari ke 9 bulan Muharam.

Hukum puasa pada hari ‘Asyura adalah sunnat muakkad.


وعن ابن عباس رضى الله عنهما ان رسول الله صلى الله عليه وسلم صام يوم عا شوراء وامر بصيامه



“Dari Ibnu ‘Abbas r.a, bahwa Rasulullah saw melakukan puasa pada hari ‘Asyura dan beliau memerintahkan untuk melakukannya”
(Muttafaq ‘alaih)


Imam Bukhori dan Imam Muslim berpendapat bahwa kata “memerintahkan” pada hadits tersebut hukumnya tidak sampai derajat wajib, tetapi sunat.

Pahala melakukan puasa pada hari ‘Asyura adalah sesuai dengan hadits :


وعن ابي قتادة رضى الله عنه ان رسول الله سئل عن صيام يوم عا شوراء فقال يكفر السنة الماضية


“Dari Ibn Qatadah r.a, bahwa Rasulullah saw ditanya soal puasa pada hari ‘Asyura. Beliau bersabda bahwa puasa hari ‘Asyura bisa mengkafarati dosa (kecil) selama satu tahun ke belakang”.
(HR Muslim)


Hukum puasa pada hari ‘Tasu’a juga sunnat , sesuai hadits nabi :


وعن ابن عباس رضى الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لئن بقيت الى قابل لا صومن التاسع


“Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan”.
(HR Muslim)


Hikmah dianjurkannya puasa hari ke 10 disertai dengan hari sebelumnya/hari ke 9 adalah :
  1. supaya berbeda dengan umat Yahudi, karena mereka juga dulu menjalankan tradisi puasa bertepatan pada tanggal 10 muharam saja, sehingga untuk membedakannya disunatkan bagi umat Islam melakukan puasa pada tanggal 9 10 muharam.
  2. menjaga kehati-hatian dari salah penanggalan awal muharam terutama bagi mereka yang ragu-ragu penentuan tanggal 1 muharam.
  3. menjaga dari sebagian pendapat ulama bahwa puasa hanya 1 hari tanpa ada hari lain yang menemani adalah hal yang kurang baik, hal ini berdasarkan itba’ kepada pendapat yang menyatakan bahwa puasa pada hari jumat saja tanpa hari sebelum atau sesudahnya adalah kurang baik, namun Imam Syafi’I dalam Al Um, menegaskan bahwa tidak apa-apa menjalankan puasa hanya pada tanggal 10 Muharamnya saja, tanpa hari sebelumya.

Sedangkan mengenai puasa pada tanggal 11 Muharam, sebuah hadits riwayat Imam Ahmad menyatakan :


صوموا يوم عا شوراء وخالفوا اليهود وصوموا قبله يوما وبعده يوما



“Puasalah kamu pada hari ‘Asyura dan berbedalah dengan puasa kaum Yahudi, dan puasalah sehari sebelumnya serta sehari setelahnya”

Perbedan Dan Pengertian Zakat, Infaq, Shodaqoh

Tidak ada komentar:
Istilah Shadaqah, Zakat dan Infaq menunjuk kepada satu pengertian yaitu sesuatu yang dikeluarkan. Zakat, Infaq dan Shadaqah memiliki persamaan dalam peranannya memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan. Adapun perbedaannya yaitu zakat hukumnya wajib sedangkan infaq dan Shadaqah hukumnya sunnah. Atau Zakat yang dimaksudkan adalah sesuatu yang wajib dikeluarkan, sementara Infaq dan Shadaqah adalah istilah yang digunakan untuk sesuatu yang tidak wajib dikeluarkan. Jadi pengeluaran yang sifatnya sukarela itu yang disebut Infaq dan Shadaqah. Zakat ditentukan nisabnya sedangkan Infaq dan Shadaqah tidak memiliki batas, Zakat ditentukan siapa saja yang berhak menerimanya sedangkan Infaq boleh diberikan kepada siapa saja.

Perbedaannya juga dapat dicermati antara lain yaitu :

  1. Zakat, sifatnya wajib dan adanya ketentuannya/batasan jumlah harta yang harus zakat dan siapa yang boleh menerima. 
  2. Infaq, sumbangan sukarela atau seikhlasnya (materi).
  3. Shadaqah, lebih luas dari infaq, karena yang disedekahkan tidak terbatas pada materi saja.
Pengertian Shadaqah, Zakat dan Infaq :

1. Shadaqah
Shadaqah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar. Orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya. Adapun secara terminologi syariat shadaqah makna asalnya adalah tahqiqu syai'in bisyai'i, atau menetapkan/menerapkan sesuatu pada sesuatu. Sikapnya sukarela dan tidak terikat pada syarat-syarat tertentu dalam pengeluarannya baik mengenai jumlah, waktu dan kadarnya. Atau pemberian sukarela yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, terutama kepada orang-orang miskin setiap kesempatan terbuka yang tidak ditentukan jenis, jumlah maupun waktunya, sedekah tidak terbatas pada pemberian yang bersifat material saja tetapi juga dapat berupa jasa yang bermanfaat bagi orang lain. Bahkan senyum yang dilakukan dengan ikhlas untuk menyenangkan orang lain termasuk kategori sedekah. Shadaqoh mempunyai cakupan yang sangat luas dan digunakan Al-Qur'an untuk mencakup segala jenis sumbangan. Shadaqah ialah segala bentuk nilai kebajikan yang tidak terikat oleh jumlah, waktu dan juga yang tidak terbatas pada materi tetapi juga dapat dalam bentuk non materi, misalnya menyingkirkan rintangan di jalan, menuntun orang yang buta, memberikan senyuman dan wajah yang manis kepada saudaranya, menyalurkan syahwatnya pada istri.

Sedekah berarti memberi derma, termasuk memberikan derma untuk mematuhi hukum dimana kata zakat digunakan didalam Al-Qur'an dan Sunnah. Zakat telah disebut pula sedekah karena zakat merupakan sejenis derma yang diwajibkan sedangkan sedekah adalah sukarela, zakat dikumpulkan oleh pemerintah sebagai suatu pengutan wajib, sedegkan sedekah lainnya dibayarkan secara sukarela. Jumlah dan nisab zakat di tentukan, sedangkan jumlah sedekah yang lainya sepenuhnya tergantung keinginan yang menyumbang.
Pengertian sedekah sama dengan pengertian infaq, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja shadaqoh mempunyai makna yang lebih luas lagi dibanding infaq. Jika infaq berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut juga hal yang bersifat nonmateriil.
Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar, Rasulullah menyatakan : "jika tidak mampu bersedekah dengan harta, maka membaca tasbih, takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami-istri, atau melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adakah sedekah".
Dalam hadist Rasulullah memberi jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu terhadap orang kaya yang banyak bershadaqah dengan hartanya, beliau bersabda : "Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir shadaqah, setiap tahmid shadaqah, setiap amar ma'ruf adalah shadaqah, nahi munkar shadaqah dan menyalurkan syahwatnya kepada istri shadaqah". (HR. Muslim)


2. Zakat
Zakat secara bahasa (lughat), berarti : tumbuh, berkembang dan berkah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10).
Seorang yang membayar zakat karena keimanannya nicaya akan memperoleh kebaikan yang banyak. Allah SWT berfirman : "Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka". (QS : At-Taubah : 103)
Sedangkan menurut terminologi syari'ah (istilah syara') zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dalam waktu tertentu.
Zakat juga berarti derma yang telah ditetapkan jenis, jumlah dan waktu suatu kekayaan atau harta yang wajib diserahkan dan pendayagunaannya pun ditentukan pula, yaitu dari umat Islam untuk umat Islam. Atau Zakat adalah nama dari sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu (nishab) yang diwajibkan Allah SWT untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula (QS. 9:103 dan QS. 30:39)
Ulama' Hanafiyyah mendefinisikan zakat dengan menjadikan hak milik bagian harta tertentu dan harta tertentu untuk orang tertentu yang telah ditentukan oleh Syari' karena Allah.
Demikian halnya menurut mazhab Imam Syafi'i zakat adalah sebuah ungkapan keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan secara khusus. Sedangkian menurut mazhab Imam Hambali, zakat ialah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula, yaitu kelompok yang disyaratkan dalam Al-Qur'an. Zakat mempunyai fungsi yang jelas untuk menyucikan atau membersihkan harta dan jiwa pemberinya.


3. Infaq
Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Menurut terminologi syariat, infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan Islam. Jika zakat ada nishabnya, infaq tidak mengenal nishab.
Infaq dikeluarkan setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit (QS. 3:134)
Jika zakat harus diberikan pada mustahik tertentu (8 asnaf), maka infaq boleh diberikan kepada siapapun. Misalnya, untuk kedua orang tua, anak-yatim, dan sebagainya (QS. 2:215)
Infaq adalah pengeluaran sukarela yang di lakukan seseorang, setiap kali ia memperoleh rizki, sebanyak yang ia kehendakinya. Allah memberi kebebasan kepada pemiliknya untuk menentukan jenis harta, berapa jumlah yang yang sebaiknya diserahkan.
Terkait dengan infak ini Rasulullah SAW bersabda : ada malaikat yang senantiasa berdo'a setiap pagi dan sore : "Ya Allah SWT berilah orang yang berinfak, gantinya. Dan berkata yang lain : "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak, kehancuran". (HR. Bukhori)
 
back to top